Athirah, yang dirilis pada tahun 2016 dan disutradarai oleh Riri Riza, adalah film drama yang diadaptasi dari novel karya Alberthiene Endah. Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata ibunda dari Jusuf Kalla, Wakil Presiden Republik Indonesia. Namun film ini bukan sekadar biopik, melainkan potret mendalam tentang perempuan Bugis yang harus bertahan dalam keretakan rumah tangga, dan tetap menjaga martabat, cinta, serta keluarganya.
Lewat visual yang sederhana tapi kuat, Athirah menghadirkan narasi tentang ketabahan, kesunyian, dan kekuatan dalam diam.

Sinopsis
Athirah (Cut Mini) hidup sebagai istri yang taat dan ibu dari beberapa anak. Ia menjalani kehidupannya di Makassar tahun 1950-an dengan penuh tanggung jawab dan cinta. Suaminya, Haji Kalla (Arman Dewarti), adalah pedagang sukses yang suatu hari menikah lagi tanpa sepengetahuan Athirah.
Bagi seorang perempuan Bugis pada masa itu, poligami mungkin bukan hal asing, tapi tetap menjadi luka yang dalam. Alih-alih melawan secara frontal, Athirah memilih cara yang berbeda: diam, menguatkan diri, dan membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih. Ia mengubah luka menjadi kekuatan, dan kehancuran menjadi harapan.
Sementara itu, putranya Ucu (diperankan oleh aktor muda Jajang C. Noer dalam versi dewasa) ikut mengalami krisis identitas, menyaksikan sang ibu menahan luka dalam diam, dan sang ayah yang ia kagumi justru mengecewakan.
Pemeran dan Akting
- Cut Mini sebagai Athirah tampil memukau. Lewat ekspresi tenang, ia berhasil menyampaikan pergolakan batin seorang perempuan yang dikhianati, tanpa harus berteriak.
- Arman Dewarti sebagai Haji Kalla menghadirkan karakter yang kompleks: seorang ayah yang penyayang tapi juga egois.
- Indah Permatasari dan Jajang C. Noer sebagai anak-anak Athirah memberikan warna dalam dinamika keluarga yang rapuh tapi tetap hangat.
Cut Mini meraih Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik berkat perannya yang autentik dan menyayat hati.
Tema dan Nilai Kehidupan
1. Ketabahan Perempuan
Athirah menggambarkan kekuatan perempuan yang tidak selalu harus meledak-ledak. Ia memilih cara yang bermartabat untuk menyikapi luka: dengan membuktikan bahwa dirinya bisa tetap berdiri, mendidik anak-anak, dan membangun hidup baru tanpa menyalahi nilai-nilai yang ia yakini.
2. Poligami dan Perempuan dalam Budaya Tradisional
Film ini mengangkat persoalan poligami bukan dari sudut benci atau penghakiman, tetapi dari sudut rasa — bagaimana luka itu hadir, diam-diam, dalam rumah yang tadinya utuh. Budaya Bugis, dengan nilai-nilai kehormatan dan pengabdian, memperkaya konteks cerita.
3. Ibu sebagai Pilar Keluarga
Athirah bukan hanya istri. Ia adalah guru kehidupan bagi anak-anaknya. Ia menjadi jangkar ketika kapal rumah tangga mulai karam.
Gaya Visual dan Penyutradaraan
- Riri Riza membangun atmosfer tahun 1950-an dengan detail artistik yang kuat, baik dari busana, rumah, hingga nuansa kota Makassar yang sepi tapi berlapis makna.
- Penggunaan sinematografi oleh Yadi Sugandi memberikan suasana muram dan intim, mencerminkan kondisi batin tokoh-tokohnya.
- Ritme film berjalan tenang, penuh jeda — seperti napas panjang yang menahan tangis, membuat penonton ikut merasakan tekanan yang menumpuk tapi tidak pernah meledak.
Penghargaan dan Prestasi
- Pemenang Film Terbaik – Festival Film Indonesia 2016
- Pemeran Utama Wanita Terbaik – Cut Mini
- Skenario Adaptasi Terbaik – Salman Aristo
- Masuk nominasi dan festival internasional seperti Busan International Film Festival
- Dipuji sebagai salah satu film perempuan paling kuat di sinema Indonesia modern